Ini dia, baru ada isinya…
Akhir-akhir ini, saya mempunyai keinginan yang baik tetapi masih maju mundur. Seringkali masih bingung, apa yang sekarang (terlebih dahulu) harus dikerjakan. Keinginan keinginan yang muncul dari refleksi, bercermin kepada teman sekarang dan ingatan masa lalu. Keinginan seperti pada posting sebelumnya. Keingingan yang sebenarnya sudah ada sepuluh, bahkan sebelas atau dua belas tahun lalu. Baru dimulai dilakukan sedikit tetapi kemudian tenggelam dan hilang ditelan waktu.
Masalah
Mungkin, yang menjadi masalah waktu itu adalah karena ketiadaan guru. Ketiadaan teman atau pembimbing. Ketakutan terhadap kesalahan. Ketakutan kepada ungkapan “barangsiapa yang tidak mempunyai guru, maka setan lah gurunya”.
Jawabannya dari dulu sudah ada
Sewaktu kuliah, teman saya bertanya kepada saya. Kurang lebih seperti ini, “bolehkah kita belajar tanpa guru (otodidak) dalam mempelajari agama?”. Saya jawab iya. “lalu, bagaimana dengan ungkapan ‘barangsiapa tidak punya guru, maka setan menjadi gurunya?”, dia melanjutkan pertanyaan. Saya pun diam.
Seperti yang pernah saya tulis di blog ini dengan judul merindukan orang, teman saya ini memberikan pertanyaan ketika hendak memberikan pelajaran. Mungkin agar saya berpikir telebih dahulu dan agar diingat selalu. Setelah bertanya, dia menjelaskan dan memberitahu.
“Coba kamu lihat imam Asy Syafi’i. Beliau hafal Al Qur’an sewaktu kecil. Setelah itu, beliau menghafal Al Muwaththa’, kitab hadits karya Imam Malik. Beliau belajar sendiri, menghafal sendiri. Meskipun akhirnya, beliau juga belajar dari Imam Malik.”
Man La syaikho lah, fa syaikhuhu syaithon
Sebagian orang menganggap ungakapan di atas hadits Nabi, padahal bukan. Kalimat di atas merupakan ucapan dari seorang ulama zaman dulu, Abu Yazid al Bisthomi (kalau tidak salah, lahir-wafat …H s.d. …H). Maksud ungkapan tersebut adalah agar kita berhati-hati, jangan sampai niat baik kita menuntut ilmu malah menjadikan kita terjerumus kepada kesesatan.
Nabi saja yang bisa saja mendapat pengetahuan langsung dari Allah, masih berguru kepada malaiakat Jibril. Apalagi kita?
Namun demikian, tidak ada larangan pasti tidak bolehnya otodidak. Seperti yang dilakukan oleh Imam Syafi’i sebelum beruguru kepada Imam Malik. Namun demikian, ketika kesempatan sudah datang, beliau berguru juga kepada Imam Malik. Pentingnya berguru adalah agar ada orang yang meluruskan ketika ada pemikiran kita yang keliru, atau kelakuan yang salah. Di samping, tentu saja guru dapat menjadi tempat bertanya atas hal-hal yang tidak tahu. Seperti dalam AlQur’an, “fas-alu ahladzdzikri in kuntum la ta’lamun”, bertanyalah kamu kepada ahlinya jika kamu tidak mengetahui.
Jangan tunda kebaikan
Ungkapan pertama tadi (man la syaikhon) terkadang membuat orang ketakutan berlebihan. Menjadi takut untuk belajar bila belum ada guru. Hal ini lama-lama dapat menimbulkan rasa malas. Seperti ini juga yang saya alami terkait keinginan menghafal dan juga yang lain. Padahal, seharusnya saya tidak perlu terlalu takut karena sudah punya dasar. Sudah pernah belajar, berguru, dan mengajar. Bisa dibilang, ini seharusnya tinggal penekunan, latihan, dan latihan.
Dua minggu lalu, saya membukan aplikasi di gadget teman, kebetulan ada terjemah Al Hikam. Saya baca, berbagi, bertanya, dan menjelaskan semampunya kepada teman yang lain. Di sana saya menemukan bait keenam atau ketujuh kurang lebih berbunyi “menunda kebaikan untuk menunggu kesempatan yang baik adalah sebuah kebodohan”.
Bait itu seolah mengingatkan saya atas jawab teman saya sepuluhan tahun lalu. Begitulah seharusnya. Kita mulai saja, sambil berdoa kesempatan itu ada. Dan juga berusaha mencarinya.
wallahu a’lam
Tinggalkan Balasan