Bagi sebagian orang Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa mungkin tahu istilah kupatan/ bada kupat yang jatuh seminggu setelah Idul Fitri. Kata bada (a dibaca seperti o pada kata kodok) dalam bahasa jawa berarti hari raya/ lebaran. Dalam keseharian, kata ini bisa juga bermakna banyak atau melimpah. Jadi, bada kupat bisa diartika lebaran ketupat atau hari di mana berlimpah ketupat.
Hari Raya tentu tak lepas dari puasa, yang seolah jadi sebuah perayaan atas kemenangan kita selama berpuasa, yang kadang menjadi berlebihan dan malah menjauhkan kita dari nilai menahan diri. Dengan kata lain, orang yang tidak berpuasa tidak berhari raya. Demikian pula bada kupat, mulanya sejenis simbol setelah berpuasa sunah 6 hari di bulan Syawal. Selamat kepada yang menjalankannya, puasa di hari itu lebih berat karena yang lain biasanya enak- enak makan setelah lebaran (termasuk saya).
Orang dahulu mencoba merayakan hari ini dengan cara yang baik. Mereka membuat lepet, ketupat beserta sayurnya kemudian membagikan kepada tetangga dan sanak saudara. Sebuah ajaran untuk gemar memberi dan menjadi dermawan serta mempererat tali silaturrahim.
Kupat sendiri mempunyai arti kula lepat (=saya salah), sebagai simbol pengakuan atas kesalahan, kekurangan. Makanan khas lainnya yaitu lepet, masakan dari beras ketan dicampur kelapan dan kadang juga ada kacang merahnya dan dibungkus janur, biasanya 3 diikat tali dari bambu muda. Lepet berarti, disilep sing rapet (=dikubur yang rapat), lambang permohonan maaf agar kesalahan yang ada dilupakan dan dikubur rapat- rapat seolah tak pernah ada.
haduh… belum genep syawalnya 😦
maaf lahir batin ya pak zizaw.. kok kupatnya nggak nyampe tempat saya? 😀
wah, masih syawal neh..
maaf lahir bathin ya pak..
bagi dong kupatnya pak…
dalam bahasa jawa itu namanya apa ya yang thakthikthuk itu lho…
sanepa ato apa ya?
yg othakathikmathuk itu lho…?
[…] https://zizaw.wordpress.com/2008/10/17/filosofi-kupat-n-lepet-2/ […]